Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan

Topik    : Struktur Produksi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Judul    : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan

 

I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

    Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan sosial yang sangat kompleks dan harus segera mendapat penanganan yang tepat agar dapat segera teratasi. Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki jumlah penduduk yang besar tentu tidak dapat terhindar dari masalah tersebut. Ini dibuktikan dengan jumlah penduduk miskin yang besar, mayoritas tinggal di daerah pedesaan yang sulit untuk diakses bahkan di kota besar seperti Jakarta pun juga sangat banyak ditemukan masyarakat miskin. Kemiskinan dapat diartikan dimana seseorang sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dikarenakan berbagai penyebab salah satunya adalah rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh.

    Istilah kemiskinan muncul pada saat seseorang atau sekelompok orang tidak dapat atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama hidupnya. Kemiskinan juga dapat dikatakan sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup.

    Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan yaitu, kurangnya pendapatan karena sulit mendapatkan pekerjaan yang upahnya dapat memenuhi kebutuhannya. Faktor pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi tingkat keahliannya, sehingga perusahaan tempatnya bekerja memperoleh keuntungan dari hasil yang dikerjakan dan akan memberikan bayaran yang mahal. Dan semakin sejahteralah hidup mereka yang berpendidikan tinggi. Sangat berbeda bagi mereka yang berpendidikan rendah, dengan keahlian yang dimiliki sangat minim sehingga jarang ada perusahaa yang mau untuk menerima bekerja.

    Pada saat ini sangat perlu diadakan penanggulangan-penanggulangan untuk menagatasi atau mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia untuk menaikan kesejahteraan hidup masyarakat dan untuk menjadikan Indonesia semakin lebih baik lagi.

TUJUAN PENULISAN

  1. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan.
  2. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap penghasilan keluarga miskin.
  3. Untuk mengetahui pengaruh distribusi pendapatan pada kemiskinan.
  4. Untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap perekonomian.

TINJAUAN LITERATUR

    Dua masalah besar yang umumnya dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah keuangan yang berada dibawah garis kemiskinan (poverty line) (Tambunan, 2001). Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi masalah yang sangat besar jika tidak segera ditindaklanjuti. Banyak literatur menyatakan bahwa penurunan tingkat kemiskinan yang berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Tambunan (2006) menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada tahun 1990-an berperan besar dalam pengurangan kemiskinan di Indonesia, meskipun bukan satu-satunya cara untuk mengurangi kemiskinan.

    Kesempatan kerja di sektor-sektor seperti industri besar, kontruksi, perdagangan dan keuangan memang memberikan pendapatan dan nilai tambah yang tinggi namun ketersediaannya lebih banyak di perkotaan daripada di pedesaan yang didominasi oleh sektor primer, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan terutama antara perkotaan dengan pedesaan. Kinerja perekonomian dipedesaan yang masih relatif rendah dalam lingkup regional maupun nasional pada kenyataannya belum secara memadai mampu mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi masalah yang sangat besar jika tidak segera ditindaklanjuti. Banyak literatur menyatakan bahwa penurunan kemiskinan yang berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Masyarakat miskin memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi karena dengan pertumbuhan ekonomi makan permintaan pasar terhadap tenaga kerja akan meningkat melalui sektor-sektor yang padat karya seperti pertanian, industri kecil dan menengah. Tambunan (2006) menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat pada tahun 1990-an berperan besar dalam pengurangan kemiskinan di Indonesia, meskipun bukan satu-satunya cara untuk mengurangi kemiskinan.

    Berpijak dari fakta tersebut adalah penting untuk diukur ketimpangan distribusi pendapatan dengan koefisien Gini untuk mengetahui kecenderungan yang sebenarnya mengenai distribusi pendapatan di pedesaan. Hal ini menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan pembangunan daerah di pedesaan yang sudah dilakukan selama ini, ketika dampak dari kenaikan harga BBM dan kenaikan upah dan gaji PNS yang memicu inflasi masih terasa bagi masyarakat berpendapatan rendah. Selain itu seberapa besar pertumbuhan ekonomi yang terbatas di pedesaan mampu mengurangi ketimpangan distribusi pendapatannya. Indikator ini juga akan menjadi pijakan bagi pemerintah daerah dalam mempertimbangkan ketimpangan distribusi pendapatan sebagai pertimbangan dalam strategi pembangunan dan memprioritaskan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan atau kesenjangan ekonomi di daerah pedesaan ke depan.

    Fungsi produksi frontier menggambarkan produksi maksimum yang dapat dihasilkan untuk sejumlah masukan (input) produksi yang dikorbankan. Fungsi produksi Frontier pertama kali dikembangan oleh Aigner et al.(1997) dan Meeusen dan Van den Broek (1977) melalui pendekatan Stochastic Production Frontier (SPF). Spesifikai asli mencakup fungsi produksi dispesifikasi untuk data silang (cross-sectional data) yang mempunyai error term yang mempunyai dua komponen, satu disebabkan oleh random effects dan yang lain disebabkan oleh inefisiensi teknis. Soekartawi (2003) menjelaskan bahwa aplikasi fungsi produksi ini digunakan untuk mengukur bagaimana fungsi produksi sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Pada awalnya fungsi atau model ini diaplikasikan untuk menganalisis ekonomi produksi pertanian yang kemudian aplikasinya berkembang pada bidang-bidang lain seperti keuangan, perikanan, manufaktur, dan lainnya. Battese dan Coelli (1992) mengajukan fungsi produksi frontier stokhastik untuk panel data (yang tidak seimbang) yang mempunyai pengaruh terhadap perusahaan yang diasumsikan didistribusikan sebagai truncated normal random variabels, yang juga dibolehkan bervariasi dengan waktu.

    Berusaha tani adalah suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dan pendapatan di bidang pertanian. Pendapatan berupa selisih nilai produksi atas biaya-biaya yang secara eksplisit dikeluarkan petani dalam usahatani. Dalam hal ini salah satu cara yang dapat dilakukan petani dalam efisiensi usahatani yaitu dengan meminimumkan biaya untuk suatu tingkat produksi tertentu (Nicholson, 1998).

 

    Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004). Banyak negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan orang tidak memberikan solusi pada pemecahan masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaan maupun perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara sedang berkembang.

    Fenomena yang menarik pada rumah tangga miskin dalam mempertahankan hidup dengan tingkat kehidupan yang layak, yaitu pertama pada sisi pengeluaran yang dirasakan dapat ditunda, pengeluaran-pengeluaran yang berkaitan dengan transportasi sedapat mungkin dihindari atau dikurangi. Kedua, pada sisi pendapatan rumah tangga pada rumah tangga miskin telah memaksa mereka untuk melakukan pengoptimalan pendapatan melalui pengerahan sumber daya ekonomi yang dimiliki. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk tetap dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan atau kehidupan yang layak. Namun demikian upaya ini tidak semuanya mampu untuk dapat mempertahankan pada tingkat kehidupan yang layak.

    Pekerja wanita dalam rumah tangga. Wanita berpotensi dala memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga, khususnya dalam rumah tangga miskin. Dalam rumah tangga miskin anggota rumah tangga wanita turut serta dalam bekerja untuk menambah pendapatan rumah tangga yang dirasakan jauh dari kata berkecukupan. Peningkatan partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi karena adanya perubahan pandangan dan sikap masyarakat tentang sama pentingnya pendidikan bagi kaum wanita dan pria, serta makin disadari perlunya kaum wanita ikut berpartispasi dalam pembangunan, selain itu juga karena adanya kemauan wanita untuk bermandiri dalam bidang ekonomi yaitu berusaha membiayai kebutuhan hidupnya dan mungkin juga kebutuhan hidup dari orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan penghasilan sendiri. Kemungkinan lain yang menyebabkan peningkatan partisipasi wanita dalam angkatan kerja adalah makin luasnya kesempatan kerja yang bisa menyerap pekerja wanita, misalnya muncul kerajinan tangan dan industri ringan.

    Wanita Indonesia terutama di pedesaan sebagai sumber daya manusia cukup nyata partisipasinya khususnya dalam memenuhi fungsi keluarga dan rumah tangga bersama pria. Beberapa hasil penelitian menunjukan peran serta wanita dalam berbagai industri di beberapa daerah cukup besar dan menentukan, dengan pengelolaan usaha yang bersifat mandiri (Lestari, dkk: 1997).

    Analisis gender dalam kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari analisis tentang keluarga. Ekonomi dan keluarga merupakan dua lembaga yang saling berhubungan sekalipun tampak keduanya terpisah satu sama yang lainnya. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (Gender Inequality) mengacu pada ketidakseimbangan pada akses ke sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber yang penting yang ada di masyarakat ini antara lain meliputi kekuasaan atas material, jasa, prestise, peran dalam masyarakat, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan memperoleh pekerjaan dan sebagainya. Pendapat tentang ketimpangan gender ini tampaknya kurang memperhatikan aspek sosial budaya yang mengkonstruksi terjadinya ketimpangan tersebut.

    Pengaruh modernisasi terhadap kelembagaan tenaga kerja, diungkapkan oleh Iwamoto et al (Hartono, 2003) bahwa modernisasi berdampak melemahkan kelembagaan tenaga kerja non upahan yang berlandaskan sistem kegotong royongan dan kebersamaan, seperti sombatan dan kawon.

    Faktor lain yang juga berperan dalam perekonomian Indonesia adalah inflasi. Inflasi merupakan salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian suatu negara, terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap variabel makroekonomi agregat: pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bungan dan bahkan distribusi pendapatan.

    Teori inflasi dari pandangan strukturalis menjelaskan bahwa inflasi adalah fenomena jangka panjang yang menekan kakunya struktur perekonomian suatu negara khususnya negara sedang berkembang, seperti ketidakelastisan penerimaan ekspor dan produksi dalam negeri (Budiono, 1985 : 173). Dalam jangka pendek peningkatan utang luar negeri dan jumlah uang beredar justru akan menurunkan tingkat inflasi di Indonesia. Dalam jangka panjang, volalitas tingkat inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh dua sisi, yaitu sisi fiskal dan moneter. Tahun 2008 inflasi berada pada angka 11,06%, mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi akibat dari krisis keuangan global pada tahun 2008 yang juga mempengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam bentuk pengeringan likuiditas, lonjakan suku bunga, anjloknya harga komoditas, dan melemahnya pertumbuhan sumber daya. Tingkat kepercayaan konsumen, investor, dan pasar menurun terhadap berbagai institusi keuangan yang ada. Selanjutnya berdampak pada pasar modal Indonesia yang terkoreksi akibat indikasi melemahnya mata uang rupiah.

    Inflasi secara langsung mempengaruhi kinerja (menurunkan laba) perusahaan disektor riil, karena meningkatkan biaya produksi, serta menurunkan daya beli masyarakat (Novis 2003). Laju inflasi yang tinggi akan menjadi beban yang berat bagi perusahaan untuk menghasilkan imbal hasil/return saham bagi pemilik saham dan ini akan menyebabkan return saham menurun (capital loss) (Juliah 2009). Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus (Rahardja dan Manurung 2008 : 367). Tingkat inflasi menunjukan adanya kenaikan tingkat harga umum, dimana nilai uang sebagai refleksi tingkat harga umum tidak stabil. Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil, yaitu mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawarannya, sehingga harga mengalami kenaikan.

    Faktor-faktor yang mempengarhui inflasi baik variabel domestik seperti SBI rate, output gap, dan produktivitas, maupun variabel internasional seperti nilai tukar dan inflasi luar negeri. Dengan menggunakan model analisis kointegrasi dan model koreksi kesalahan (error correction model, ECM) temuan penting yang diperoleh adalah selama periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (SBI rate), output gap dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap inflasi Indonesia. Dalam jangka pendek, kecepatan penyesuaian nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan variance decomposition juga menunjukan bahwa suku bunga SBI, nilai tukar dan output gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia.

    Tanpa mengingkari fenomena-fenomena riil di masyarakat sekarang yang masih terpuruk dalam krisis ekonomi, pemerintah dengan kebijakan fiskal mengisyaratkan untuk dapat memelihara dan mempertahankan disiplin kebijakan makro ekonomi sebagai kunci penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi upaya pemulihan. Kebijakan fiskal melalui penerimaan dan belanja negara merupakan instrumen ampuh guna mengambil tindakan sebagaimana output nasional yang digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Hukum Wagner “hukum meningkatnya ekspansi aktivitas publik” menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai determinan utama pertumbuhan sektor publik (Wagner, 1983 dalam Mankiw, 2007 dan Donrbusch, et, al, 1987) yang berarti pengeluaran pemerintah merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi. Analogi untuk hubungan ini adalah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka tingkat penerimaan pemerintah dari sektor pajak juga meningkat yang akhirnya meningkatkan pengeluaran pemerintah. Selain itu pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga mencerminkan semakin besarnya kebutuhan layanan jasa pemerintah, sehingga dibutuhkan anggaran pemerintah yang semakin besar pula.

    Dampak dari economics shock akan menyebabkan terjadinya fluktuasi ekonomi yang pada akhirnya akan tertransmisi pada naik dan turunnya penerimaan pajak. Pajak penghasilan akan mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan individu yang menghasilkan adanya efek substitusi dan efek pendapatan. Akibat kenaikan pajak penghasilan, yang berarti adanya penurunan upah, maka utilitas individu akan menurun sebagai akibat adanya efek income. Dengan kata lain pada jumlah jam kerja yang sama, pekerja sekarang akan mempunyai pendapatan yang lebih rendah.

    Dalam APBN 2009 pajak penghasilan memberikan kontribusi terbesar (lebih dari 50%) pada penerimaan rutin dalam negeri yang bersalan dari pajak, yaitu sebesar Rp 366,8 Trilyun dari total penerimaan pajak sebesar Rp 657,3 Trilyun. Secara umum pajak mempunyai dampak distori itulah, maka biasanya pemerintah memindahkan sumber penerimaannnya dari jenis pajak lain ke pajak penghasilan yang dianggap mempunyai beban pajak paling minimum.

    Ketidaklancaran kegiatan operasional dan kenaikan biaya produksi menyebabkan perusahaan mengalami kerugian. Agar perusahaan tidak mengalami kerugian, perusahaan menaikan harga outputnya (Tambunan, 2000 : 99). Kenaikan harga output akan menurunkan jumlah output yang diminta. Penurunan realisasi produksi terhadap kapasitas terpasang mengakibatkan penurunan jumlah output yang dapat dihasilkan oleh setiap pekerja. Penurunan produktivitas pekerja menimbulkan kesulitan dalam penentuan tingkat upah nominal. Penurunan produktivitas pekerja tidak mengakibatkan penurunan upah pokok nominal pekerja produksi dibawah mandor turun. Upah pokok nominal pekerja produksi dibawah mandor tegar untuk turun. Penurunan produktivitas pekerja mengakibatkan turunnya upah lembur pekerja produksi dibawah mandor tidak tegar untuk turun.

    Krisis ekonomi dan keuangan yang awalnya melanda Thailand berdampak pada perekonomian negara-negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia. Bahkan kontraksi perekonomian Indonesia lebih besar dibanding negara lainnya. Kontraksi ekonomi di Indonesia pada tahun 1998 sebesar 13,7 persen. Perekonomian Indonesia mulai mengalami perubahan yang signifikan setelah pada pertengahan tahun 1997 muncul masalah yang menghantam perdagangan valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar valuta asing Thailand dan kemudia menjalar ke pasar valuta asing negara-negara lain termasuk Indonesia. Pada kasus Indonesia, krisis nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dolar, terus menular ke sektor-sektor lainnya hingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1997, pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) tercatat sebesar 4,7 persen sedang pada akhir tahun 1998 turun sebesar -13,2 persen. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, antara tahun 1990 sampai 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 8 persen. Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia antara tahun 2000 sampai 2006 menurun dengan rata-rata 4,86 persen.

    Perbedaan nilai tukar mata uang suatu negara (kurs) pada prinsipnya ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran mata uang tersebut (Levi, 1996 : 129). Pertumbuhan nilai mata uang yang stabil menunjukan bahwa negara tersebut memiliki kondisi ekonomi yang relatif baik atau stabil (Solvator, 1997 : 10). Ketidakstabilan nilai tukar ini mempengaruhi arus modal atau investasi dan pedagangan Internasional. Indonesia sebagai negara yang banyak mengimpor bahan baku industri mengalami dampak dan ketidakstabilan kurs ini, yang dapat dilihat dari melonjaknya biaya produksi sehinggan menyebabkan harga barang-barang milik Indonesia mengalami peningkatan. Dengan melemahnya rupiah menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan kepercayaan terhadap mata uang dalam negeri.

    Sistem devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem floating exchange rate di Indonesia sejak tahun 1997, menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktor-faktor ekonomi maupun non ekonomi. Sebagai contoh pertumbuhan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS pada era sebelum krisis melanda Indonesia dan kawasan Asia lainnya masih relatif stabil. Jika dibandingkan dengan masa sebelum krisis, semenjak krisis ini terjadi lonjakan kurs dolar AS berada diantara Rp 6.700 – Rp 9.530 sedangkan periode 1981 – 1996 di bawah Rp 2.500 (Bank Indonesia, 2000).

 

II

PEMBAHASAN

    Pengertian kemiskinan secara umum dipahami dengan suatu permasalahan yang dikaitkan dengan sektor ekonomi masyarakat. Menurut ahli kemiskinan merupakan kondisi dimana seseorang hidup dibawah standar kebutuhan minimum yang telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok pangan yang membuat seseorang cukup untuk bekerja dan hidup sehat berdasarkan kebutuhan beras dan gizi (Sajogyo).

    Secara ekonomi kemiskinan mempunyai definisi sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Manusia (masyarakat) dikatakan miskin karena alasan ekonomi biasanya berkaitan dengan kemiskinan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan yang rendah sering kali berkaitan dengan pendidikan yang juga rendah. Suryahadi dan Sumarto, (2001) mengemukakan orang dengan pendidikan yang lebih tinggi maka akan memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan gaji yang tinggi. Dengan memiliki kemiskinan yang tinggi maka daya beli masyarakat akan menjadi tinggi.

    Berdasarkan pengertian diatas maka kemiskinan dapat terjadi dikarenakan beberapa penyebab, Menurut Sharp et al. (2000), kemiskinan terjadi dikarenakan beberapa sebab yaitu:

  1. Rendahnya kualitas angkatan kerja.
  2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.
  3. Rendahnya masyarakat terhadap penguasaan teknologi.
  4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.
  5. Tingginya pertumbuhan penduduk.

    Nugroho & Dahuri, 2004: 165 – 168 menyatakan kemiskinan merupakan kondisi absolut dan relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena penyebab natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan struktural disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai kebijakan, peraturan, keputusan dalam pembangunan, kemiskinan ini umunya dapat dikenali dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak seimbang. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan. Dengan kata lain seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya tidak memungkinkan orang tersebut untuk mentaati tata nilai dan norma dalam masyarakatnya.

    Terdapat dua cara untuk mengukur tingkat kemiskinan, pertama pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan. Seseorang atau masyarakat yang tidak mampu keluar dari ukuran-ukuran tersebut dikelompokan sebagai miskin. Ukurannya antara lain berupa tingkat pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau keluarga dalam satu waktu tertentu dan hal-hal yang disetarakan dengan ukuran tersebut. Pendekatan ini lebih mudah diterapkan karena hanya membandingkan saja dengan batasan yang dikehendaki (Nugroho & Dahuri, 2004 : 169). Kemiskinan ini dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukinan, kesehatan dan pendidikan. Besarnya atau dimensi masalah kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan (Ahluwalia, 1974 : 10 dalam Wie, 1981 : 6).

    Kedua, pendeatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi ukuran-ukuran lainnya yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Misalnya garis kemiskinan adalah 20% pendapatan terendah, median dari distribusi pendapatan dan lain-lain (Nugroho & Dahuri, 2004 : 169). Berdasarkan konsep kemiskinan ini garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila sekiranya seluruh tingkat kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan mutlak/absolut. Kelemahan konsep ini justru terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa “kemungkinan kemiskina akan selalu berada di antara kita”. Dalam setiap waktu akan selalu terdapat sejumlah penduduk dari total penduduk yang dapat dikategorikan sebagai miskin. Sehingga berbeda dengan konsep kemiskinan absolut jumlah orang miskin tidak mungkin habis sepanjang zaman (Esmara, 1986 : 293).

Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Syaratnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut menyebar disetiap golongan masyarakat, termasuk di golongan penduduk miskin. (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2007).

    Hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan

    Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karya. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal. Dari hasil penelitian berarti pertumbuhan ekonomi telah menyebar di setiap golongan masyarakat termasuk masyarakat miskin sehingga efektif dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan, maka hipotesis penelitian dapat diterima.

Upah

    Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, oleh karenanya upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Sebagai imbalan terhadap tenaga dan pikiran yang diberikan pekerja kepada pengusaha, maka pengusaha akan memberikan kepada pekerja dalam bentuk upah. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik untuk karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya. Jadi upah berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut kepada pengusaha. Upah dibayar oleh pengusaha sesuai atau sama dengan usaha kerja (produktivitas) yang diberikan kepada pengusaha (Sonny Sumarsono, 2003).

    Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat merugikan perusahaan.

Teori Upah Minimum

    Dalam pasar tenaga kerja sangat penting untuk menetapkan besarnya upah yang harus dibayarkan perusahaan pada pekerjanya. Undang-undang upah minimum menetapkan harga terendah tenaga kerja yang harus dibayarkan (Mankiw, 2006). Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin.

    Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.

Hubungan Tingkat Kemiskinan Dengan Upah Minimum

    Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkat pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan sehingga terbebas dari kemiskinan (Kaufman 2000).

    Semakin tinggi upah minimum akan memicu penurunan tingkat kemiskinan. Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, sehingga terbebas dari kemiskinan. Penetapan upah minimum yang mendekati KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan diatas garis kemiskinan telah tepat karena mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Hasil penelitian menunjukan bahwa upah minimum berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan sesuai dengan hipotesis penelitian dapat diterima.

Faktor Penyebab Peningkatan Ketimpangan Distribusi Pendapatan

    Meningkatnya angka kemiskinan akibat rendahnya laju pertumbuhan ekonomi dan rendahnya pendapatan per kapita. Turunnya kontribusi sektor pertanian dan industri padat karya dengan indikasi turunnya kontribusi sektor pertanian, rendahnya pendapatan petani, turunnya daya beli bagi petani, usaha kecil dan rumah tangga. Kurang memadainya sektor informal dalam memberikan hasil dan pendapatan bagi pelaku ekonomi sektor informal akibat biaya modal dan produski serta rendahnya permintaan akibat turunnya pendapatan riil masyarakat karena inflasi. Adanya polarisasi perolehan pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan terendah seperti petani, buruh dan pegawai kecil serta pelaku sektor informal dengan kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi seperti pengusaha, wiraswastawan, dan profesional, sehingga kondisi ini meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan.

    Kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM sejak tahun 2005 dan inflasi yang terjadi berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat dan pengeluaran investasi sehingga membuat iklim usaha yang kurang menguntungkan terutama bagi usaha kecil dan rumah tangga, petani dan sektor informal. Turunnys pendapatan relatif bagi kelompok masyarakat berpendapatan terendah dan tingginya pendapatan relatif bagi masyarakat berpendapatan tertinggi membuat ketimpangan distribusi pendapatan meningkat dengan indikasi meningkatnya Koefisien Gini.

Faktor Penentu Kemiskinan Di Indonesia

  1. Pendapatan Per Kapita Penduduk

    Tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Sementara sebagian besar penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak menikmati capai tersebut. Dengan kata lain meskipun ekonomi tumbuh dengan baik, tetapi mereka tetap berada dalam kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor, upah, dan bentuk lain) yang selama ini terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian orang. Peningkatan kontra prestasi tersebut tidak sampai menyentuh pada kelompok yang berada pada garis kemiskinan.

  2. Rasio Ketergantungan Penduduk

    Kemiskinan juga dipengaruhi oleh rasio ketergantungan penduduk. Besarnya penduduk yang beraktifitas sebagai ibu rumah tangga, menganggur, dan sedang sekolah akan semakin memperbesar rasio ketergantungan penduduk. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan faktor penyebab kemiskinan. Artinya jikalau nantinya penduduk yang saat ini sedang sekolah (SMP/SMA/Diploma/Sarjana) telah lulus, maka kehadira mereka tidak akan membantu mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Tetapi kehadiran mereka justru akan menambah besar nilai rasio ketergantungan. Dengan kata lain kemungkinan mereka untuk menjadi pengangguran lebih besar karena sistem pendidikan yang tidak memiliki link and match dan miskin praktek/ keterampilan.

    Meningkatnya rasio ketergantungan akan meningkatkan proporsi populasi yang hidup dalam kemiskinan. Angka kelahiran yang tinggi berimplikasi pada tingginya rasio ketergantungan. Negara-negara berkembang di Asia yang sukses mengurangi angka kelahiran, maka rasio ketergantungannya relatif rendah. Kemiskinan akan meningkat seiring dengan meningkatnya rasio ketergantungan.

    Faktor penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat kelahiran yang tinggi. Penyebab kemiskinan adalah adanya ledakan penduduk yang tidak terkendali karena ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba pas-pasan. Masyarakat miskin tidak akan pernah berhasil mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dari tingkat subsiten, kecuali apabila mereka mengadakan pemeriksaan pengendalian preventif terhadap pertumbuhan populasi mereka, atau dengan menerapkan pengendalian kelahiran. Apabila setiap keluarga memiliki tiga orang anak yang berarti dalam satu keluarga akan terdiri dari lima jiwa. Semakin besar jumlah anak maka semakin besar jumlah tanggungan yang harus di tanggung oleh kepala keluarga. Selanjutnya semakin besar jumlah penduduk yang berusia tidak produktif makan semakin besar tanggungan yang harus di tanggung oleh penduduk usia produktif.

  3. Pertumbuhan Ekonomi

    Tidak ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mampu mengurangi munculnya kemiskinan. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru hanya memicu munculnya kesenjangan pendapatan dan in-equality. Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap upaya menaikkan pendapatan penduduk miskin serta pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengurangi ketimpangan pendapatan antara orang kaya dan orang miskin. Tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan dan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio) maka semakin besar tingkat kemiskinan.

    Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai oleh Indonesia ternyata tidak mampu mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang di Indonesia. Efeknya akan memunculkan kemiskinan struktural dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang kaya, sementara bagian terbesar masyarakat yang tetap miskin.

    Pengurangan kemiskinan di suatu negara dan di waktu tertentu ditentukan secara penuh oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan. Hubungan ini sesuai dengan teori “tricle down effect” dimana bila ekonomi tumbuh, maka secara otomatis akan terjadi pemerataan hasil-hasil pembangunan atau perembesan ke bawah sehingga hasil-hasil pembangungan dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Dengan demikian kaum miskin dapat keluar dari kemiskinannya.

  4. Persentase Tenaga Kerja Di sektor Pertanian

    Kemiskinan di pedesaan di Indonesia dapat berkurang dengan meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Sehingga pembangunan pedesaan dan pertanian, dimana ada kenaikan produktivitas per hektar atau pada rumah tangga, seharusnya diprioritaskan untuk bagian pulau di luar Jawa dan Bali dimana tingkat kemiskinannya yang tinggi. Persentase tenaga kerja di sektor pertanian tidak mampu mengurangi faktor penyebab kemiskinan karena sektor pertanian dan mempunyai tingkat pendidikan SD kebawah. Oleh karena itu program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian perlu diprioritaskan. Pembangunan sektor pertanian melalui perbaikan lahan pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pembangunan masyarakat pedesaan perlu menjadi pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan kemiskinan.

  5. Pengaruh Penghasilan Terhadap Kemiskinan

    Menurut Sumardi (1983 : 65), penghasilan adalah uang yang diterima dan diberikan kepada subyek ekonomi berdasarkan prestasinya yang diserahkan yaitu berupa pendapatan dari pekerjaan yang telah dilakukannya, pendapatan dari profesi yang dilakukan sendiri atau usaha perorangan dan pendapatan dari kekayaan serta dari sektor subsistem.

    Penghasilan merupakan pendapatan yang berbentuk uang. Seseorang yang memiliki penghasilan rendah maka akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti, kebutuhan pangan, papan, maupun sandang. Seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi dapat menyisakan hasil pendapatannya untuk memutar kembali uang yang telah diperoleh agar dapat menghasilkan tambahan pendapatan. Sedangkan seseorang yang memiliki pendapatan rendah tidak dapat menyisakan ataupun memutar kembali uang yang diperoleh, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat kesulitan.

    Seseorang orang yang pekerjaan jauh lebih ringan dan santai justru mendapatkan pendapatan yang tinggi karena lebih memiliki tanggung jawab yang besar. Berbeda dengan seseorang yang pekerjaannya jauh lebih berat malah mendapatkan penghasilan yang rendah, padahal sudah mengeluarkan tenaga yang cukup besar.

    Menurut Djojohadikusumo (1989 : 20), pendapatan per kapita menunjukan tingkat hidup masyarakat dalam suatu wilayah. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat, maka kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah tersebut juga akan meningkat. Oleh karena itu pendapatan per kapita suatu wilayah sering kali menjadi tolak ukur dari ketidak berhasilan suatu daerah untuk menciptakan pembangunan yang pesat.

Pengaruh inflasi Terhadap Kemiskinan

    BPS mencatat angka kemiskinan Indonesia sejak 5 tahun selalu mengalami penurunan, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk miskin dari maret 2009 sampai maret 2010 berhasil turun 1,51 juta menjadi 31,02 juta atau 13,33% orang miskin. Walau mengalami penurunan, jumlah tersebut masih dianggap tinggi karena melihat kenyataan bahwa masih banyaknya jumlah masyarakat yang masih menerima subsidi untuk beras RasKin (Beras Miskin) dari pemerintah.

Kondisi di negara berkembang sendiri, banyaknya arus modal asing deras dan mengalir lancar membanjiri, namun menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya akses likuiditas valuta asing. Belum lagi dampak inflasi yang terjadi di karena kan volatile food price yang melanda beberapa negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengurangi volalitas yang secara langsung maupun tidak yang dikarenakan dampak dari adanya ketidakseimbangan gejolak perekonomian global.

Kenaikan masalah inflasi yang dipicu dari masalah likuiditas dari ketidakseimbangan global dan kenaikan harga pangan dan energi.

Peran Pemerintah Terhadap Kemiskinan

    Dalam suatu negara, peran pemerintah sangat menentukan, baik dalam membuat masyarakat menjadi miskin, maupun keluar dari kemiskinan. Kebijakan yang kurang tepat dan ketidakberpihakan terhadap masyarakat miskin akan menciptakan kemiskinan yang lebih banyak dan lebih dalam.

    Sebagai contoh, izin yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk membuka perkebunan besar, terkadang menimbulkan kemiskinan. Hutan yang dibabat dan dijadikan kebun sawit, dapat mebuat keringnya sungai dan irigasi.

    Akibatnya sawah dan kolam telah kering, masyarakat tidak dapat lagu menanam padi. Akhirnya mereka terpaksa menjadi buruh harian kebun (bila diterima) yang sesungguhnya mereka tidak punya keahlian dibidang ktu. Mereka tidak dapat lagi menyekolahkan anaknya dan akhirnya terperangkap dalam kemiskinan.

    Kebijakan pemerintah membolehkan super market dan pasar modern masuk hingga ke tingkat kecamatan juga akan berdampak terhadap pasar tradisional yang sebagian besar dikelola oleh masyarakat kelas bawah. Kebijakan yang berpihak pada pasar bebas dan kurang peduli dengan kesiapan para petaninya sendiri tentu akan berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat dan akhirnya berujung pada kemiskinan.

    Harga barang kebutuhan pokok yang berfluktuasi bahkan cenderung naik, besarnya biaya pendidikan dan kesehatan, distribusi pendapatan yang tidak merata, pembangunan yang timpang dan hanya berpusat di pulau jawa dan kota serta banyak kebijakan lainnya yang kurang berpihak, akan dapat menambah rentannya kondisi masyarakat.

Efek Perpajakan Dalam Perekonomian

    Pajak merupakan suatu pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan, misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk menagtur perekonomian, dapat juga mengatur konsumsi masyarakat. Karena sifatnya yang dipaksakan tersebut maka pajak akan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau seseorang. Pajak merupakan suatu pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan, misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur perekonomian, dapat juga mengatur konsumsi masyarakat. Karena sifatnya yang dipaksakan tersebut maka pajak akan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau seseorang.

    Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam menopang pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Besar-kecilnya pajak akan menentukan kapasitas anggaran negara, baik untuk pembiayaan pembangunan maupun anggaran rutin. Pajak sebagai instrumen fiskal yang merupakan penerimaan negara kemudian menjadi suatu investasi pemerintah dan digunakan untuk memenuhi kemakmuran rakyat.

    Dalam implementasinya, pemungutan pajak dapat berjalan baik bila prinsip-prinsip kebijakan perpajakan dapat diterapkan. Smith dan Jones mengemukakan tentang prinsip kebijakan perpajakan yang dikenal dengan istilah Smith’s Canons. Prinsip-prinsip itu meliputi asas kesamaan, asas kepastian hukum, asas tepat waktu, dan asas ekonomi atau efisiensi. Jika prinsip itu diterapkan secara menyeluruh, sistem perpajakan berjalan ideal.

    Dalam menjalankan kebijakan perpajakan, pemerintah di setiap negara memiliki hak yuridis secara eksklusif untuk memungut dari wajib pajak. Yurisdiksi itu tentunya berlandaskan undang-undang yang dibuat bersama dengan legislatif. Hal itu dilakukan dengan memberi batasan-batasan dari pengenaan dan besarnya pajak yang dibebankan pada subjek dan objek pajak. Atas dasar uraian itu, jelas dapat dikatakan bahwa upaya perpajakan melalui yurisdiksi yang jelas merupakan langkah strategis dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

    Sejalan dengan adanya yurisdiksi dan kepastian hukum, kebijakan perpajakan bertujuan mendorong kemajuan ekonomi sebagai upaya peningkatan hasrat konsumsi masyarakat, meningkatkan investasi pemerintah, serta mengtransmisikan sumber-sumber ekonomi masyarakat menjadi penerimaan pemerintah.

    Kesejahteraan merupakan perwujudan dari cita-cita pembangunan ekonomi suatu negara dan salah satu tujuan dari pemungutan pajak. Bagi bangsa Indonesia, kesejahteraan sudah sangat jelas diatur tersendiri dalam UUD 1945 Pasal 33. Pembangunan merupakan bentuk kristalisasi ide dan kreativitas negara dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup masyarakat.

    Ide dan kreativitas tersebut meliputi segala konsep dan program pembangunan yang merupaka representasi kehendak masyarakat dalam rangka mencapai kemakmuran. Pengurangan kemiskinan, pemerataan pembangunan, peningkatan gizi, kesempatan kerja yang luas, dan peningkatan kualitas pendidikan merupakan beberapa bentuk kesejahteraan yang diinginkan masyarakat.

Dampak Ekonomi

    Kebijakan perpajakan yang baik ikut menentukan jalannya perekonomian di suatu negara. Dijelaskan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menurunkan investasi ysng otomatis menekan pertumbuhan ekonomi dan berdampak mengecilnya penerimaan pajak. Tarif pajak yang relatif kecil akan berdampak sebaliknya, investasi melaju, pertumbuhan ekonomi membaik, dan penerimaan negara membesar. Jadi, jelas setiap kebijakan perpajakan memiliki dampak ekonomi makro dan aspek sosial lainnya.

    Kajian perpajakan yang lebih mendalam dan terperinci meliputi tidak saja pemahaman aturan perundang-undangan, tetapi juga membuat landasan teori ekonomi perpajakan. Pentingnya alokasi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang efisiem dan distribusi yang adil merata menjadi kajian menarik yang dapat ditemukan dalam buku ini.

    Demikian juga mengenai pentingnya peranan oajak dalam ilmu ekonomi aspek ekonomi makro. Lebih jauh lagi, dalam era desentralisasi fiskal, posisi pajak sebagai transfer dana perimbangan memegang peranan sentral dalam pembangunan dan kesejahteraan daerah.

Pengaruh Pajak Terhadap Kemiskinan

    Terlepas dari banyaknya kelemahan dari sisi pengukuran angka kemiskinan, terutama dari sisi pengukuran garis kemiskinan, data BPS menunjukkan persentase penduduk miskin pada 2008 merupakan angka terkecil sejak krisis ekonomi 1997/1998.Namun, pengukuran garis kemiskinan berdasarkan angka USD1 dan USD2, memperlihatkan lonjakan angka kemiskinan yang sangat besar.

Hal ini menandakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia sangat sensitif terhadap garis kemiskinan yang menjadi basis. Demikian pula fenomena kemiskinan di Indonesia bercirikan tingginya kelompok masyarakat yang rentan menjadi miskin. Pada sisi lain, masalah kemiskinan nonpendapatan (non-income poverty) lebih serius dibandingkan dengan kemiskinan pendapatan (income poverty).

Melihat kenyataan tersebut, pengendalian tingkat harga dan peningkatan akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar,khususnya pendidikan dan kesehatan, menjadi obat mujarab untuk lebih melindungi kelompok miskin dan rawan miskin.

Pada akhirnya efektivitas stimulus kebijakan fiskal akan sangat tergantung pada tiga elemen, yaitu penekanan lonjakan pengangguran di sektor jasa,pemberian bantuan langsung bagi kelompok miskin,dan perbaikan infrastruktur dasar.

Pajak adalah Kunci Pengentasan Kemiskinan

Pajak di Indonesia mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai Budgeter dan regular. Budgeter adalah pengumpulan dana untuk pembangunan Negara, dan regular adalah mengatur perekonomian Negara. Adapun menurut Musgrave (1989) pajak berpengaruh pada kondisi mikro dan makro. Kondisi mikro yaitu kondisi terhadap distribusi pendapatan dan efisiensi penggunaan seumber daya , sedangkan yang bersifat makro adalah pengaruh terhadap tingkat out put, kesempatan kerja, tingkat harga, dan pertumbuhan.Salah satu indicator sejauhmana sistim perpajakan kita itu berhasil dengan baik adalah tingkat kemiskinan.Sehingga keberadaan pajak harus berdampak pada kemiskinan,,semakin tinggi jumlah penerimaan pajak berarti semakin menurun tingkat kemiskinan karena semakin terbuka kesempatan kerja.

Hasil penelitian yang dapat menegaskan pendapat para ahli keuangan – perpajakan seperti pendapat Musgrave (1989) yang menyatakan bahwa pajak berpengaruh pada kondisi mikro dan makro perusahaan. Adapun kondisi mikro perusahaan yaitu kondisi terhadap distribusi dan efisiensi penggunaan sumber daya. Pendapat senada juga disampaikan oleh James C. Van Horne dan John M. Wachowicz (2001) yang menyatakan bahwa kebanyakan keputusan bisnis dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh pajak. Juga sesuai dengan yang disampaikan oleh Michael A. Hitt ,R.Duane Ireland dan Robert E. Hoskisson (2001) yang menyatakan bahwa Undang – Undang Pajak adalah bidang dimana kebijakan administrasi dapat mempengaruhi operasi dan profitabilitas industri dan perusahaan-perusahaan individual.

Sangatlah ironis jika kenaikan pendapatan pajak tidak diikuti oleh kenaikan tingkat kesempatan kerja,dan jika hal ini terjadi berarti terjadi suatu kesalahan yang fatal pada pendistribusian pemanfaatan uang pajak,yang akan berdampak pada kehancuran bangsa dan Negara.

Dampak Perdagangan Bebas Terhadap Kemiskinan

Pada tahun 2010 ini telah diimplementasikan perjanjian perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN atau ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Ini bukanlah perjanjian perdagangan bebas pertama yang dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral. Beberapa pernjanjian perdagangan bebas yang telah dilaksanakan oleh Indonesia antara lain: AFTA (perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN), antara ASEAn dengan Australia dan Selandia Baru, antara ASEAN dengan Korea Selatan, antara Indonesia dengan Jepang, keikutsertaan Indonesia dalam APEC (kerjasama antar negara-negara Asia Pasifik), dan dalam skala yang lebih luas adalah keikutsertaan Indonesia dalam WTO (Organisasi Perdagangan Bebas Dunia).

Banyak pihak yang khawatir terhadap diberlakukannya ACFTA tersebut. Kekhawatiran tersebut antara lain menyangkut akan ambruknya sejumlah sektor usaha di Indonesia. Beberapa sektor usaha yang akan ambruk menurut studi Purbaya Yudi Sadewa, ahli ekonomi Danareksa Research Institute (Kompas, 4/1/2010) dengan menggunakan Program Komputer GTAP (General Trade Analysis Project), adalah sektor-sektor usaha yang memproduksi: produk-produk dari kulit, produk-produk logam (metal), produk manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu dan bit gula, padi, dan beras yang diproses.

Secara ekonomi makro kekhawatiran utamanya adalah membengkaknya defisit neraca perdagangan Indonesia. pada tahap penerapan AFTA yang sekarang saja (karena AFTA diterapkan bertahap) neraca perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain sudah defisit (impor lebih besar dari ekspor). Apalagi kalau nanti ditambah dengan perdagangan bebas dengan China. Besarnya defisit tersebut adalah dengan Thailand 2,67 miliar dolar AS, dengan Malaysia 2,49 miliar dolar AS, dan dengan Singapura 8,93 miliar dolar AS.

Demikian pula dengan neraca perdagangan Indonesia dengan China sekarang inipun sudah mengalami defisit. Besarnya defisit tersebut mencapai 4,3 miliar dolar AS. Itupun belum diperhitungkan nilai dari barang-barang selundupan dari China ke Indonesia yang sekarang ini sudah banyak beredar di pasar Indonesia. Padahal defisit tersebut mempunyai dampak tak kalah merugikan misalnya pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dengan segala dampak ikutannya misalnya: membengkaknya beban cicilan utang LN dan mahalnya “harga” stabilisasi kurs berupa terpaksanya BI meningkatkan suku bunga dengan akibat matinya sektor riil.

Salah satu dampak penting liberalisasi perdagangan – yang belum banyak didiskusikan- adalah terhadap kemiskinan. Seperti diketahui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 ini ada banyak perkiraan. Pemerintah memeperkirakan jumlah penduduk miskin akan turun menjadi sekitar 30 juta orang. Sementara menurut Agus Eko Nugroho (Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI) justru memperkirakan memperkirakan jumlah orang miskin di tahun 2010 justru mengalami peningkatan menjadi 3,7 juta orang atau naik 200.000 orang dibanding tahun 2009.

Penyebab perbedaan dalam memperkirakan jumlah orang miskin adalah pada prediksi tingkat inflasi. Pemerintah memprediksi tingkat inflasi yang rendah yaitu 4 persen, sementara Agus Eko Nugroho memperkirakan tingkat inflasi lebih tinggi yaitu 5, 6 persen. Tingkat inflasi mempengaruhi jumlah orang miskin karena inflasi akan sangat mempengaruhi pendapatan dan daya beli riil masyarakat. Semakin tinggi tingkat inflasi maka semakin rendah pula daya beli riil masyarakat dan dengan demikian semakin banyak pula jumlah orang miskin.

Menambah Kemiskinan

Lalu bagaimana dampak diberlakukannya perdagangan bebas terhadap jumlah penduduk miskin? Ada beberapa studi yang mencoba mengkaji dampak perdagangan bebas terhadap kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan hasil yang saling berlawanan. Pertama, studi yang dilakukan oleh John Cockburn di Nepal (2001) dengan menggunakan program komputer CGE (Computable General Equlibrium) menghasilkan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan di Nepal berdampak pada penurunan penduduk miskin di perkotaan tetapi penduduk miskin di pedesaan justru naik. Hal tersebut terjadi karena liberalisasi perdagangan justru memukul sektor pertanian di pedesaan dengan produk-produk pertanian yang lebih murah, sementara penduduk perkotaan diuntungkan karena terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor perdagangan. Maksudnya penduduk perkotaan bisa berusaha di sektor perdagangan dengan membeli barang impor yang murah dan kemudian menjualnya dengan mendapatkan marjin keuntungan.

Kedua, studi yang dilakukan oleh Bahattasali, dkk (2005) di negara-negara Sub Sahara Afrika, Asia Tengah, dan bekas Uni Soviet menemukan kesimpulan bahwa liberalisasi perdagangan justru memperbesar penduduk miskin karena ketidakmerataan asset yang dimiliki., misalnya lahan pertanian. Petani yang mempunyai lahan luas akan lebih diuntungkan karena bisa berpindah dari komoditi pertanian yang tersaingi produk impor ke komoditi berorientasi ekspor. Sementara itu, pemilik lahan sempit tidak bisa dengan leluasa berpindah komoditi karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Padahal sebagian besar petani di negara-negara yang distudi adalah pemilik lahan sempit.

Ketiga, studi yang dilakukan Madeley (2004) di beberapa negara sedang berkembang mempunyai kesimpulan sama yaitu liberalisasi perdagangan mempunyai dampak buruk yaitu meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penyebabnya adalah tidak cukupnya ketrampilan tenaga kerja bekas sektor pertanian di pedesaan yang terpukul dengan liberalisasi perdagangan untuk berpindah ke sektor perdagangan dan jasa di perkotaan yang diuntungkan dengan liberalisasi perdagangan.

Cara-Cara Penanggulangan Kemiskinan

  1. Pemerintah harus mengurangi rasio ketergantungan penduduk. Peningkatan rasio ketergantungan salah satunya dapat terjadi karena ledakan penduduk yang tidak terkendali. Ledakan penduduk akan menimbulkan rasio ketergantungan anak. Rasio ketergantungan anak merupakan persentase penduduk usia belum produktif (usia 0-14 tahun) terhadap penduduk usia peoduktif (usia 14-64 tahun). Rasio ketergantungan anak digunakan untuk menunjukan besarnya beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap anak-anak di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu penurunan rasio ketergantungan anak dapat dilakukan dengan mengendalikan tingkat kelahiran, misalnya melalui intensifikasi program KB, intensifikasi perawatan ibu hamil dan menyusui, pengaturan kelahiran, pengaturan batas usia menikah, dll.

    Peningkatan rasio ketergantungan juga dapat disebabkan karena ledakan penduduk usia lanjut (usia 65 tahun keatas). Ledakan penduduk lanjut usia akan menimbulkan rasio ketergantungan lanjut usia. Rasio ketergantungan lanjut usia merupakan persentase penduduk usia lanjut (usia 65 tahun ke atas) terhadap penduduk usia produktif (usia 14-64 tahun). Indikator ini digunakan untuk menggambarkan besarnya beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap pendudukan lanjut usia di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Penurunan rasio ketergantungan lanjut usia dapat dilakukan dengan “menjaga” agar usia produktif penduduk semakin panjang. Tindakan yang dilakukan misalnya dengan memberikan keterampilan kepada penduduk, peningkatan kesehatan penduduk, perbaikan gizi sejak usia dini, dll. Penurunan rasio ketergantungan ini bersifat jangka panjang.

  2. Pemerintah harus meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Upaya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat harus diikuti dengan pemerataan pendapatan. Karena pendapatan tanpa pemerataan justru akan menimbulkan ketimpangan. Upaya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat dapat dilakukan misalnya dengan perluasan lapangan kerja, pemberian bantuan usaha, perbaikan aturan pengupahan, dll.
  3. Pemerintah harus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan misalnya dengan perbaikan sarana dan prasarana usaha, pemberian bantuan usaha, penjaminan kepastian usaha, dll.
  4. Pemerintahan harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor pertanian (TKP). Peningkatan persentase tenaga kerja di sektor pertanian dilakukan dengan cara membuat sektor pertanian dapat menjadi tempat untuk menggantungkan hidup sehingga sektor tersebut menjadi lebih menarik untuk dimasuki pekerja/calon pekerja. Cara tersebut dapat ditempuh dengan caraintensifikasi sektor pertanian, ekstensifikasi sektor pertanian, peningkatan/perbaikan nilai tukar petani, melibatkan petani dalam bisnis melalui kegiatan agro industri, dll. Pemerintah harus mampu merubah image bahwa sektor pertanian merupakan sektor tradisional yang kental dengan istilah produktifitas tenaga kerjanya rendah, upah rendah, sumber kemiskinan, konsumsi tenaga kerja sektor-sektor pertanian lebih rendah dibandingkan konsumsi tenaga kerja sektor industri, sektor subsisten yang kelebihan penduduk, dll. Sektor pertanian harus diciptakan lebih “sexy” agar menarik untuk dimasuki dan layak dijadikan sebagai gantungan hidup. Pemerintah harus melakukan pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pembangunan masyarakat pedesaan sebagai pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan kemiskinan.
  5. Pemerintah harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor industri (TKI). Selama ini sektor industri dianggap lebih menarik di banding sektor pertanian. Sektor industri juga lebih memberikan jaminan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Sektor industri juga lebih banyak menghasilkan jumlah konsumsi yang lebih tinggi. Namun serapan tenaga kerja sektor industri lebih kecil dibandingkan sektor pertanian. Salah satu penyebabnya adalah sektor ini memerlukan persyaratan khusus yaitu keterampilan (skill) bagi tenaga kerjanya. Oleh karena itu upaya peningkatan persentase tenaga kerja di sektor industri dapat dilakukan dengan cara intensifikasi balai latihan kerja (BLK), intensifikasi sekolah-sekolah yang secara nyata memiliki kompetensi keterampilan bagi lulusan (sekolah kejuruan), pendidikan vokasi, dll. Jika calon tenaga kerja ini dibekali dengan skill tertentu, maka diharapkan tenaga kerja akan lebih mudah diserap oleh dunia industri.

III

KESIMPULAN

    Kesimpulan dari pembahasan diatas yaitu, kemiskinan di Indonesia bukanlah hal yang sepele melainkan sudah menjadi permasalahan yang cukup besar. Semakin maju negara Indonesia bukannya semakin berkurang masyarakat miskin namun akan semakin bertambah.

    Banyak hal yang dapat menimbulkan kemiskinan yaitu, kurangnya pendidikan, pendapatan yang rendah, serta pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang lainnya yang justru semakin meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia.

    Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan salah satunya dengan menaikan pendapatan masyarakat miskin atau melakukan pemerataan pendapatan per kapita agar masyarakat miskin bisa lebih sejahtera lagi kehidupannya, meningkatkan taraf pendidikan bagi warga miskin, dll.

 

IV

DAFTAR PUSTAKA

Endri. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 13 No. 1 Hal. 1-13. Jakarta. April.

Triyono. 2008. Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vo. 9 No. 2 Hal. 156-167. Surakarta. Desember.

Abustan dan Mahyuddin. 2009. Analisis Vector Auto Regressive (VAR) Terhadap Korelasi Antara Belanja Publik Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Sulawesi Selatan, Tahun 1985-2005. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 No. 1 Hal. 1-14. Bogor. Juni.

Etty Puji Lestari. 2008. Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M2 Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2 Hal. 121-136. Jakarta. Desember.

Ngatindriatun dan Hertiana Ikasari. 2011. Efisiensi Produksi Industri Skala Kecil Batik Semarang: Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan Tahun 4 No. 1. Semarang. April.

Adrian Sytawijaya dan Etty Puji Lestari. 2009. Efisiensi Teknik Perbankan Indonesia Pasacakrisis Ekonomi: Sebuah Studi Empiris Penerapan Model DEA. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 No. 1 Hal. 49-67. Jakarta. Juni.

Ellen Rusliati dan Syarah Nurul Fathoni. 2011. Inflasi, Suku Bunga Deposito dan Return Pasar Terhadap Return Saham Pada Industri Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di BEI 2006-2009. Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol. 13 No. 2 Hal. 107-118. Pasundan. Agustus.

Joko Susanto. 2009. Ketegaran Upah Nominal Untuk Turun: Kasus Upah Nominal Pekerja Produksi Di Bawah Mandor Pada Industri Besar Dan Sedang Makanan Jadi, Bahan Pakaian, Karet, Dan Plastik. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 No. 1 Hal. 15-31. Yogyakarta. Juni.

Pramono Hariadi, Arintoko, dan Icuk Rangga Bawono. 2008. Ketimpangan Distribusi Pendapatan Di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Hal. 61-70.

Eddi Wahyudi, Bunasor Sanim, Hermanto Siregar, dan Nunung Nuryartono. 2009. Pengaruh Economic Shock Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Wilayah Pajak Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vo. 10 No. 1 Hal. 68-83. Bogor. Juni.

Eddy Suratman. 2009. Pengaruh Pajak Penghasilan Terhadap Kesejahteraan: Suatu Model Teoritis. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 10 No. 1 Hal. 125-137. Pontianak. Juni.

Sugeng Haryanto. 2008. Peran Aktif Wanita Dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Miskin: Studi Kasus Pada Wanita Pemecah Batu Di Puncanganak Kecamatan Tugu Trenggalek. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2 Hal. 216-227. Malang. Desember.

Suwarto. 2008. Produktivitas Lahan Dan Biaya Usahatani Tanaman Pangan Di Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2 Hal. 168-183. Surakarta. Desember.

Puput Tri Komalasari dan Moh. Nasih. 2010. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Dan Tarif Pajak: Uji Pengaruh Karakteristik Pendapatan. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan Tahun 3 No. 2. Agustus.

Aloysius Deno Hervino. 2011. Volalitas Inflasi Di Indonesia: Fiskal Atau Moneter. Finance and Banking Journal Vol. 13 No. 2. Jakarta. Desember.

 

V

LAMPIRAN

Leave a comment